blog perempuan|blog kuliner|blog review|blog fashion|blogger bandung|blogger indonesia

14 Sep 2012

Eksistensi Diri


Cimahi, 23 Januari 2012

Bismillah,

Ini memang lagu lama, tapi curhatan seseorang membuka kembali ingatanku tentang masalah ini. Seseorang telah bercerita tentang permasalahan dirinya dengan -terutama- anaknya. Tentang kebutuhannya untuk bekerja, tentang akibatnya pada kedua anaknya yang masih balita.

Kalau untukku, sangatlah tidak sulit ketika aku harus melepas embel-embel wanita karir yang sedang asyik-asyiknya kujalani. Karena cita-citaku sudah sangat jelas, menjadi ibu rumah tangga!  Sebuah keputusan yang selalu kusyukuri hingga kini.

Lain diriku lain pula sahabat mudaku. Ia masih ingin mengabdikan dirinya untuk sesuatu. Atas nama eksistensi, atas nama ingin membantu keluarga besarnya, jadilah dirinya dihadapkan pada satu dilema. Kerisauannya melihat dua balita lucunya, membuat ia dihadapkan pada dua pilihan yang sama beratnya.

Sahabat mudaku bekerja dari pagi sampai sore. Anak terkecil ia titipkan pada seorang pengasuh, sementara anak yang besar, sudah mulai sekolah pergi bersamanya. Anak yang besar ini lebih dekat pada neneknya. Sementara sang nenek sangat memanjakannya. Ia merasa tidak bisa mendidik anaknya sesuai dengan keinginannya karena pengaruh pendidikan mertuanya kepada anaknya cukup besar.  

Ia memahami waktu yang dimilikinya memang sedikit. Sementara untuk berhenti bekerja, ia melihat semua kakak wanitanya yang semuanya 'hanya seorang ibu rumah tangga' mengalami kejumudan. Stagnan! Bahkan mungkin bisa dibilang 'kemunduran intelektual'. Ia juga masih ingin membantu ibunya untuk turut membiayai seorang adiknya yang masih kuliah.

Dilematis memang....

Untuk alasan kejumudan, stagnasi atau bahkan 'kemunduran intelektual' aku mengamininya. Walau tidak semua. Menurutku itu tergantung individu masing-masing dalam menyikapinya. Aku memang melihat banyak ibu rumah tangga yang seperti itu. Berhenti belajar, tenggelam dalam lingkungan 'sumur, dapur dan kasur'. Terpuruk dan tertinggal oleh teman-temanya yang berkarir diluar. Rentang waktu yang sangat panjang dalam sebuah lingkup terbatas, sedikit banyak memang dapat mengubah pribadi seseorang.

Tapi aku juga melihat banyak yang tidak seperti itu. Banyak sekali kulihat teman-temanku yang penuh semangat dalam menghadapi kesehariannya sebagai ibu rumah tangga saja. Ibu rumah tangga yang penuh kreatifitas dan tak pernah berhenti belajar, pandai mengatur waktu, bahkan akhirnya bisa banyak berkiprah untuk agama dan umat.

Pilihan menjadi seorang 'ibu rumah tangga' saja, memang pilihan yang tidak terlalu menarik. Pilihan yang 'kalau tidak pintar-pintarnya' kita melakoninya merupakan pilihan yang akan menjerumuskan pada kejumudan dan kejenuhan. 

Namun dibalik semua itu ada berkah yang luar biasa untuk anak dan keluarganya. Karena memang sejatinya tugas seorang ibu yang utama adalah mendidik anak-anaknya dan memenej urusan domestik dalam negerinya. Ketika urusan di dalam sudah beres barulah seorang ibu  bisa berkiprah dengan leluasa diluar.

Sementara pilihan untuk berkarir untuk sebagian orang merupakan pilihan yang lebih menarik, lebih menantang dan lebih 'menjanjikan' secara materi dan kemajuan intelektualnya. Berinteraksi dengan dunia luar memaksanya untuk selalu belajar dan memacu diri. Penuh warna dan kompetisi. Walau mungkin harus mengorbankan buah hatinya 'dipegang' orang lain yang nota bene dalam pemahaman serta pendidikan jauh di bawah standar seorang pendidik.

Tidak ingin menghakimi sebenarnya. Karena kedua pilihan itu memang ada konsekuensinya masing-masing. 

Idealnya  seorang ibu yang berpendidikan tinggi, mempunyai wawasan yang cukup mendalam dalam mendidik anak memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mencurahkan waktu dan ilmunya untuk tumbuh kembang anak-anaknya tanpa meninggalkan eksistensinya untuk berkiprah bagi sesama. Sebuah kondisi ideal!!

Tapi tidak semua bisa memilih itu. Ada hal-hal tertentu yang membuat kondisi ideal tidak dapat dipenuhi. Semua berpulang pada diri masing-masing. Selama tidak ada hak yang terdzolimi, selama semua kewajiban tertunaikan, ada hak bagi kita untuk bisa memilih.  

Diri kitalah yang lebih memahami internal rumah tangga kita, serta konsekuensi sebuah pilihan yang kita ambil.  Buatlah list sisi positif dan negatifnya pilihan kita, kemudian setelah itu,  jujur saja pada nurani. Itulah pilihan yang terbaik untuk kita. 

Untukku... mendampingi anak-anak disetiap tumbuh kembangnya... bersama keceriaan dan kemanjaannya...  adalah sebuah moment yang tak tergantikan dan tak mungkin terulang...... 

1 komentar :

Terima kasih telah mampir dan silakan tinggalkan jejak ^_^