blog perempuan|blog kuliner|blog review|blog fashion|blogger bandung|blogger indonesia

18 Jun 2012

Menggali Potensi

Bismillah,

Setiap anak dilahirkan dengan keunikan masing-masing. Tidak semua anak memiliki potensi menjadi seperti Einstein tetapi ia bisa menjadi seperti Donald Trump yang jago berbisnis, Mozart yang cerdas dalam bermusik, atau Lim Swie King misalnya yang jago bulutangkis (cerdas kinestetis). Jadi tidak usah berkecil hati saat melihat anak kita ada yang tidak cerdas secara akademis.

Berkaca pada diri, saya tak ingin anak-anakku mengalami apa yang saya alami. Bayangkan saja, baru setelah menikah selama lebih dari empat belas tahun dan memiliki anak lima, saya baru menyadari bahwa passion saya adalah menulis. Selama ini saya tidak memiliki hobi yang bisa bertahan lama. Pernah seorang dosen yang bertanya tentang hobi, terus terang saya bingung sekali saat itu. Mau bilang hobi membaca, saya memang senang membaca tetapi tidak sampai kutu buku.

Sebetulnya bila saya kenang tanda-tanda senang menulis sudah terlihat dari semenjak SMP. Saya pernah menulis sebuah cerpen, saya berikan kepada seorang sepupu  yang ditanggapi hanya dengan senyuman atau kata-kata apa yang saya lupa. Yang jelas saat itu responnya membuat saya tak berminat untuk menulis kembali. Waktu duduk di SMA saya senang menulis diary, dan saat duduk di tingkat pertama, pernah sekali di mata kuliah bahasa Indonesia tugas menulis dan saya mendapat nilai sembilan. Senang menulis surat yang panjang-panjang juga itu sebuah tanda sebenarnya. Masih ingat dulu sering mengirimi surat bernada nasihat kepada kakak-kakak angkatan aktivis masjid. Terutama kakak-kakak yang ikhwan.... Heuheu.......

Kalau saja saat saya pertama kali menulis mendapat respon yang tepat akan lain ceritanya. Mungkin sejak SMP saya sudah mulai sering berlatih menulis. Dan sekarang sudah jago menulis karena sering berlatih. Tidak akan seperti saat ini, masih tertatih belajar menulis dan baru bercita-cita menjadi penulis pada usia menginjak empat puluh tahun... haha tragisnya diriku.

Penemuan passionnya diriku juga tidak secara sengaja. Tahun 2007 my hubby berlangganan internet unlimitted, merasa sayang mengeluarkan uang 275 ribu rupiah sebulan (saat itu masih mahal ya..., saat ini di provider yang sama langganan internet saya 'hanya 137 500' saja). Sementara koneksinya portable tak bisa dibawa kemana-mana dan suami sering dinas luar akhirnya internet kugunakan untuk berblog ria.

Saya mulai menulis hal-hal keseharian.... enjoy sekali saat itu. Tapi masih belum menyadari bahwa itu hobi saya. Baru bulan Mei tahun 2011 kemarin saya menyadari menulis sebagai hobby dan mulai berlatih serius. Atas ajakan shohibku yang baik hati dan tidak sombong, Asri Andarini, saya bergabung di grup Ibu-Ibu Doyan Nulis di fesbuk. Asri lah yang suka memuji tulisanku. Benar-benar sebuah penyemangat....!! Atas dorongannya juga maka Alhamdulillah saya mulai memiliki  tulisan yang dibukukan walau masih berupa antalogi.  

Berkaca dari sejarah hidupku (ceilah... sejarah hidup...!!! heuheu...) saya menyadari pentingnya sebuah respon positif. Manusia ternyata memiliki naluri ingin dihargai dan membutuhkan sebuah pengakuan untuk bisa berkembang. Memberikan penghargaan kepada orang lain tidaklah mahal bahkan gratis,  berikanlah itu. Siapa tahu penghargaan yang kita berikan akan memberikan makna yang dalam untuk orang yang kita puji.

Tidak bermaksud menyesali apa yang telah terjadi, tetapi saya menjadikan ini sebagai sebuah pengalaman yang sangat bermakna dalam mendidik anak-anakku.  Menggali potensi anak-anak sejak dini dengan memberikan respon yang tepat ketika mereka melakukan sesuatu. Siapa tahu itu passion mereka, dan saya akan beruntung bisa menggalinya sejak dini. Semoga saja 

Mentalitas Pecundang

Bismillah,

Visi tanpa eksekusi adalah lamunan. Eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk.
Vision without execution is a daydream. Execution without vision is a nightmare.
~ Japanese Proverb
Kenapa ceramahnya Aa Gym banyak yang menggemarinya ya? Jadi ingat tahun 90 an sering ke DT. Dulu hari minggu tidak ke DT serasa seperti sebuah hp belum di charge deh... hihi.  
Menjawab pertanyaan di atas berdasarkan pengalaman sih karena ceramahnya menyentuh, pas kena di hati. Aa ceramahnya sesuatu yang aplikatif, sederhana, mudah dicerna, mengenai kehidupan keseharian manusia pada umumnya.
Jadi sesuatu yang pas mengena dengan keseharian kita, kayaknya lebih mudah dicerna dan dipahami serta dirasakan.
Kayaknya menuliskan ciri-ciri mental pecundang, lebih mengena juga deh... heuheu  *tertawa sedih
Ciri-ciri mental pecundang: 
Tidak sabar menghadapi kesulitan,takut gagal, suka mengeluh, mudah menyerah, malas dan lalai, mudah goyah, plin plan, lari dari tanggung jawab, banyak alasan, suka menyalahkan, suka menunda, banyak bicara, sedikit bekerja, tidak percaya diri.
Mengena kan? Soalnya untuk ukuran saya terutama, serta masyarakat Indonesia pada umumnya bisa dikatakan "Gue banget niih..."

Tidak heran, bangsa Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lainnya yang notabene memiliki kekayaan alam yang minim sekalipun.....

Tidak heran jumlah pengusaha di Indonesia hanya 0,18%  (Syarat untuk menjadi negara maju minimal harus punya 2% pengusaha ya.....)

Konon kabarnya di negara sakura sana, sekolah gratisan tuh, full sarana, prasarana. Ada kolam renangnya, lapangan olah raga yang luas, ruang komputer lengkap dengan printer untuk tiap siswanya,  televisi di tiap kelas, ada ruang musik yang menyediakan alat-alat musik sampai sekelas grand piano....

Di negara kita dengan sarana dan prasarana seperti itu, berapa ya kita harus bayar per bulannya? Padahal negara kita jauh lebih kaya dari negara Jepang.  

Bener-bener sebuah negara yang salah urus !!! Nonton  "Alangkah Lucunya Negeriku"  Nangis deh... 

Ayo, hilangkan mental pecundang itu dari diri kita !!   

*A reminder for myself  huuuuuhuuuu.....

Pentingnya Sebuah Impian

Bismillah,

"Seperti apa kita nanti tidak ditentukan oleh bagaimana keadaan kita sekarang tetapi lebih ditentukan oleh impian kita saat ini"
Ternyata saya harus meralat tulisan kemarin tentang 'Mimpi Terbesarku'. Yang harus kutulis sebenarnya adalah Impian Terbesarku. Saya baru ingat bahwa mimpi dan impian jelaslah berbeda. Kalau mimpi hadir saat kita dalam keadaan tidak sadar sedangkan impian hadir ketika kita benar-benar sadar.

Pentingkah sebuah impian? Impian tidaklah penting!  Tetapi sangat penting! Sayangnya meski impian itu gratis tetapi sering kita tidak membekali diri kita dengan impian, kadang kita merasa takut memiliki impian. Padahal tanpa impian kita hanya akan berjalan di tempat. Milikilah impian sejak dini jangan kita tunda-tunda. 

Bangsa yahudi telah memiliki impian untuk menghancurkan Islam pada tahun 1890 an. Melalui sebuah deklarasi, mereka paparkan secara detail hal-hal apa saja yang akan mereka usahakan untuk menghancurkan Islam. Satu abad kemudian impian itu telah tergambar dalam sebuah realita kehidupan umat muslim.

Impian adalah bahan bakar kehidupan. Konon seorang Yang Yuanqin Chairmannya Lenovo Group kerap begadang tiap malam. Ternyata yang mendorong 'Bill Gates' nya China melakukan itu adalah "Impian".

Perbesarlah impian kita, janganlah main-main dengannya. Milikilah impian yang luar biasa, bahkan mungkin terdengar liar. Bukan hanya sebuah impian yang biasa yang tidak menantang. "Gantungkanlah cita-cita setinggi langit" itu kata Bung Karno.  Mungkin orang lain akan menganggap kita sedang bermimpi disiang bolong. Jangan pedulikan mereka, Penjegal impian yang tiada henti mementahkan dan mematahkan impian dan harapan kita.

Langkah-langkah merealisasikan impian:

Visualisasikan impian kita. Bayangkan kemudian gambarkan, pajang di benak bahkan di rumah kita. Tataplah tiap hari sehingga apa yang kita impikan terinstal di alam bawah sadar kita. Kalau sudah terekam di alam bawah sadar kita, tanpa perintah pun alam sadar kita akan mencari celah untuk meraih impian-impian itu.

Komunikasikan impian kita pada orang - orang sekitar kita. Semacam ikrar kepada publik bahwa kita tak akan takut dan akan terus berusaha.

Action! Impian bolehlah melangit tetapi langkah kita harus membumi.  Sebesar apa pun impian kita dimulai dengan satu langkah kecil. Dream Big Star Small. Pelan tetapi pasti langkah-langkah kita akan memutarbalikkan keadaan 180%.  

Dream and Action!!

Semailah impian, peliharalah,  pada saatnya nanti kita akan menuainya... !! 

Belajar dari Semangat Kaizen

Disiplin!  Sebuah kata yang sangat mudah untuk diucapkan tetapi untuk sebagian orang mungkin sulit untuk dilakukan.  Membutuhkan sebuah effort yang luar biasa untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.  Tetapi disiplin memang harus dilakukan bila kita ingin sukses menjalani kehidupan ini.  Kesuksesan baru bisa kita raih ketika disiplin kita tegakkan.
Orang-orang sukses  yang kita lihat sekarang ini, tidak instant atau serta merta mereka meraih semua itu, tengok saja seorang superstar, Michael Jackson membutuhkan sebuah perjuangan yang luar biasa dan disiplin tinggi untuk meraih kesuksesan yang ia miliki, hatta setelah menjadi raja pop dunia, seorang mega bintang, latihan masih ia lakukan tiap hari demikian juga Charlie Caplin meskipun telah mencapai puncak karir dimasa keemasannya , ia tidak melupakan latihan dan ia lakukan itu dalam kesehariannya.

Mari kita tengok juga negara Jepang yang dikenal mempunyai etos kerja dan disiplin tinggi, semua itu yang menghantarkannya menjadi negara economic super power nomor  dua dunia , padahal kita ketahui bersama pada tahun 1945 ketika perang dunia kedua berlangsung, negaranya luluh lantak akibat pemboman Hirosima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat atas perintah presiden AS saat itu Harry S Truman.

Negara Jepang dapat cepat segera  bangkit dari keterpurukan, ini dikarenakan di masyarakat  Jepang  mempunyai sebuah tradisi atau semangat  yang biasa disebut kaizen yang artinya penyempurnaan terus menerus (continuous improvement), sebuah  tradisi yang baru bisa terealisir ketika disiplin tinggi ada didalamnya.  Tradisi ini lahir dan dicanangkan oleh Kaisar Meiji yang terkenal dengan istilah Restorasi Meiji.  

Dengan semangat kaizen ini mulai tahun 1980 an, produk-produk Jepang sudah bisa mensejajarkan diri dengan produk Amerika Serikat, padahal  pada tahun 1639, Jepang dibawah pemerintahan Shogun Tokugawa masih disibukkan oleh pengusiran warga asing dan pengisolasian negara selama 240 tahun ke depan, sementara Amerika Serikat pada saat yang sama telah mengenal kata “pelanggan”.  Kontradiktif!  Sebuah keadaan yang sangat jauh berbeda.

Ketika menerapkan sebuah kedisiplinan, disana kita sedang menerapkan pengelolaan waktu yang seefektif mungkin.  Seorang yang berdisiplin tinggi, berarti dia telah menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya.  Tak heran, waktu yang dipunyai setiap manusia sama-sama 24 jam, tetapi dengan modal waktu yang sama, ternyata raihan-raihan yang diperoleh setiap manusia berbeda-beda.  Ada yang bisa melesat, ada yang biasa-biasa saja dan ada yang jalan ditempat bahkan ada yang mengalami kemuduran.  Semua itu tergantung bagaimana ia bisa mengelola waktu dalam kehidupannya.

Di dalam Islam terdapat sebuah hadist yang isinya kurang lebih “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, ia adalah orang yang beruntung, barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin dia termasuk orang yang merugi, dan barang siapa hari ini lebih buruk dari kemarin dia adalah orang yang celaka.   Betapa hadist itu menyiratkan keharusan mengelola waktu yang kita miliki, agar menjadi orang yang selalu lebih baik sehingga termasuk kedalam orang- orang yang beruntung.  Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang mengingatkan kita akan waktu, seperti Demi masa, demi waktu dhuha, demi malam hari dan sebagainya. 

Kedisiplinan sesungguhnya telah diajarkan dalam ajaran Islam, Ibadah sholat mengharuskan kita untuk berdisiplin waktu, kebersihan dan ketaatan.  Demikian juga dalam ibadah shaum, shaum kita menjadi batal hanya gara-gara kita mencuri start buka satu menit sebelum waktunya.  Sesungguhnya dalam ibadah-ibadah ritual umat Islam ternyata membutuhkan dan mengajarkan kepada kita sebuah kedisiplinan.  

Disiplin, memang harus ditegakkan bila kita menginginkan menjadi orang yang beruntung dan sukses dalam kehidupan, baik di dunia dan di akhirat nanti.  Terlebih bagi seorang ibu, yang mempunyai anak-anak yang akan selalu mencontohnya.  Jangan berharap mempunyai anak yang disiplin, bila kita sebagai ibu tidak memberi contoh yang baik tentang kedisiplinan.

Untuk yang belum bisa berdisiplin (termasuk saya) marilah kita mulai semua itu, dari diri sendiri,  dari hal-hal yang kecil,  dan saat ini juga.

Bocah Malang Itu

Cimahi, 7 Maret 2012

Bismillah,

Hari masih pagi, semburat cahaya sang mentari membuat suasana menjadi ceria dan hangat. Kesibukan di laundry Cekas sudah mulai, terasa begitu ramai.  Satu demi satu pegawai berdatangan. Aku bolak balik menyiapkan uang kecil untuk kembalian. Samar-samar terdengar suara anak kecil menangis minta digendong. Aku tak terlalu memperdulikan, sibuk mencari uang recehan. 

Semakin lama tangisan semakin terdengar, membuntuti. Tersadar, akhirnya aku berbalik arah. Kulihat sesosok batita usia setahunan menangis menjulurkan tangan ingin kugendong. Aku berjongkok, "Mau digendong Umi?" Kataku sambil segera menggendongnya. Ajaib si anak langsung terdiam. Dipipinya masih mengalir sisa air mata tangisannya. Segera aku ke depan mencari tahu anak siapa gerangan ini. Tampak seorang ibu, masih tetangga jauhku, pernah ngobrol sewaktu sama-sama belanja di warung.

"Ibu, ini putranya?" Tanyaku
"Bukan, anak tetangga, saya yang bawa" Katanya sambil tersenyum
"Sini De..." Katanya

Si anak menjauh, enggan digendongnya. Kami tertawa. Ya sudah, kubawa anak itu hilir mudik mempersiapkan segala sesuatu. Sementara si Ibu masih di depan menanti karpet laundriannya di packing.

Aku kedepan lagi. Karena sudah akan pulang, si ibu bermaksud mengambil anak itu kembali. Kembali ia menolak.
"Anak siapa ini Bu ?" tanyaku penasaran
"Anak bu Erni Salon" Katanya menyebut tetanggaku pemilik salon di ujung jalan.
"Anak angkat, anak yatim  Bu, dulu waktu bayi  di telantarkan, tak ada yang mau mengurusi. Akhirnya Bu Erni mengangkatnya menjadi anak, sekarang  Bu Erninya lagi istirahat, lemes katanya. Habis di operasi kanker payudara, karena kasihan makanya aku asuh dulu." Katanya panjang lebar. 

Aku menatapnya, kagum juga. Aku tahu ibu itu hampir setahun yang lalu melahirkan anak yang kelimanya. Anaknya masih kecil-kecil, tapi mau direpotin mengurus anak yatim ini. Perasaan kasihan ke anak ini tiba-tiba menjalari relungku, terutama mendengar bahwa anak kecil ini sudah yatim.

"Yo pulang..." katanya lagi.
Anak itu makin enggan, malah terus memelukku. Aku tertawa.
"Ya sudah, main disini aja dulu dedenya ya, ibu bawa pulang karpetnya dulu, repot nanti bawanya" kataku.
"Engga ah... sudah biasa kok" katanya
Tiba-tiba Maghfira bungsuku yang sudah berusia empat tahun, menangis. Ingin kugendong juga. Rupanya ia merasa cemburu, uminya menggendong anak lain. Aku bingung. 
"Wah... tuuh kakaknya nangis..., udah ya nanti main sama umi lagi" kataku. Si anak tetap tak mau. Tangisan Maghfira makin keras. Pegawaiku berusaha mengambil si anak itu dari gendonganku. Tetep anak itu tidak mau. Akhirnya aku ke dalam, dibuntuti Maghfira yang terus menangis. Kuberikan anak itu sama abinya yang sedang duduk di depan komputer, alhamdulillah mau. Maghfira pun terdiam.

Beberapa saat kemudian kembali aku ambil anak itu, Maghfira diambil abinya. Aku menuju si ibu tadi lagi di depan. Si Anak tetap tak mau. Bingung, dipaksa malah nangis. Bu Nani pegawaiku berinisiatif memberinya kue onde, kebetulan di depan ada si Mbok penjaja kue keliling. Bu Nani mengambil anak itu, alhamdulillah tidak menolak. Diberikannya anak itu pada ibu tetanggaku tadi. Si anak kembali nangis, dan menjulurkan tangannya kearahku.... Mi...Mi....katanya. Akhirnya si anak dibawa ibu itu dalam tangisan.

Aku kemudian menceritakan kisah bocah malang itu pada abinya. 
"Umi mau mengasuh anak itu gitu?" Tanya si Abi.
Aku terdiam. Ragu. Anakku pun sudah cukup banyak, masih kecil-kecil, masih suka berebut perhatian. "Mending bikin lagi" canda si abi. Wew.... aku tertawa kecil.
"Maghfira mau punya Dede..?" tanyaku
Maghfira yang ada disampingku menggeleng. Tidak setuju rupanya...hihi

Hari pun beranjak siang. Aku kembali sibuk mempersiapkan keberangkatanku ke sebuah bank di Bandung. Sosok anak itu pun perlahan lenyap dari bayanganku ditelan kesibukanku.

Semoga engkau mendapat hak mu ya Nak, dirawat dan dididik dengan baik, oleh orang-orang yang menyayangimu...... Semoga saja. Aamiin Allohumma Aamiin.

Redenominasi Bukan Senering

Bismillah,

Hari ini saya pergi ke bank BJB Syariah, karena urusannya agak lama, sambil menunggu iseng saya membuka-buka sebuah majalah Karsa yang tergeletak begitu saja di kursi sampingku.  Nomornya saya lupa yang jelas terbit belasan februari 2012, masih baru belum terlalu basi. 

Maghfira asyik kesana kemari, namun masih disekitarku. Saya pun tenang membaca. Sedang asyik membaca tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah judul artikel REDENOMINASI SIAPA TAKUT? Penulisnya Fitria (panjangnya lupa!) Kulihat di sebelah atas artikel terpangpang foto seorang perempuan cantik berkerudung dengan model trendi.

Masih segar dalam ingatan saya tentang sebuah isyu  yang mengguncang di sekitar bulan Agustusan tahun 2010, tentang rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi. Namun setelah sekian lama isyu itu pun tak terdengar lagi, saya tidak begitu mengetahui sejauh mana penjelasan mengenai masalah ini mengingat saya tidak terlalu tertarik mengetahui lebih lanjut.

Namun saya masih ingat karena isyu ini, saya pernah bercerita banyak tentang pentingnya menyimpan uang kita dalam bentuk LM pada adik perempuanku. Waktu itu adik bungsuku menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan dan deposito. Menerima penjelasanku, semenjak itu saya jadi sering belanja LM titipannya di sebuah bank langgananku. Namun dasar adikku tukang gaul dan jago bisnis, dia sekarang malah jadi tukang jual beli emas. 

Adikku punya kenalan pemilik toko emas. Di kenalannya itu margin harga LM hanya berbeda tipis dengan harga di PT Antam. Akhirnya beli LM pun beralih ke adik dan saya mulai ikut-ikutan  bisnis ini juga. Kalau di bank bedanya cukup jauh dengan di Antam, sekitar sepuluh ribuan per gramnya tapi ini tergantung beratnya juga. Sementara kalau  ke PT Antam kan harus antri dan ribet, karena tidak ada di Bandung juga karena pembeliannya dibatasi.

Kembali lagi ke masalah Redenominasi, ternyata redenominasi bukan hal yang perlu ditakutkan. Mungkin karena masyarakat kita punya sejarah yang tidak enak tentang pengguntingan nilai mata uang di masa silam, akhirnya masyarakat awam yang kurang memahami hal ini bereaksi cukup 'ramai'. Bahkan mungkin yang memiliki banyak asset dalam bentuk uang alias tabungan dan di deposito di Bank menjadi cukup panik.

Trauma masa lalu masih dimiliki masyarakat kita, terutama generasi tahun lima puluhan sampai tujuh puluhan. Seperti yang pernah diceritakan ibuku tentang ini. Pemerintah kita pernah menggunting nilai mata uang kita samapai tiga kali. Yaitu tahun 1950, PM Syafrudin waktu itu melakukan pemotongan nilai mata uang sebesar 50%. Misalnya, nilai uang Rp 500 menjadi Rp 250, otomatis hal itu sangat merugikan masyarakat karena nilai uangnya menurun setengahnya. Dalam sejarah kita mengenal ini dengan istilah "Gunting Syafrudin". Pengguntingan ini dilakukan karena kita mengalami hyperinflasi, yaitu inflasi yang sangat tinggi.

Selanjutnya tahun 1959, Pemerintah Indonesia melakukan pengguntingan yang kedua sebesar 90%. Nilai uang Rp 1000 menjadi Rp 100. Otomatis dollar pun terapresiasi dari Rp 11,4 menjadi Rp 45. Guncanglah masyarakat Indonesia....katanya sih... .. (ya iyalah saya kan tidak mengalaminya langsung ....)

Pengguntingan yang ketiga dilakukan tahun 1965. Rp 1000 menjadi Rp 1. Uang yang semula cukup untuk membeli 100 kg beras menjadi hanya cukup untuk membeli 1kg beras saja.... ck...ck..ck tak terbayangkan luar biasa menyedihkan, mudah-mudahan kita tidak mengalami lagi masa-masa seperti itu.

Ternyata ketiga pengguntingan yang dilakukan pemerintah itu bukan Redenominasi namanya, tetapi SENERING. Sementara yang akan dilakukan pemerintah kita adalah Redenominasi. Jauh berbeda. Kalau Redenominasi hanya membuang tiga angka 0 dibelakang rupiah kita. Misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1, tanpa mengurangi nilai uang kita terhadap barang. Justru redenominasi lebih menyederhanakan pencatatan keuangan kita.

Rencana pemerintah melakukan redenominasi ini akhir tahun 2018. Dengan rincian sosialisi sebagai berikut (katanya):

2011 - 2013    Masa transisi (menggunakan 2 nilai mata uang)
2016 - 2018    Masa peralihan  
2019                Mulai menggunakan nilai mata uang yang baru dengan menghapus kata 
                         'Baru' di mata uang kita.

Pada masa transisi pemerintah menggunakan 2 mata uang. Misalnya Rp 20 boleh juga menggunakan uang Rp 20.000 yang lama. Demikian juga dengan harga-harga dipasaran. Akan menggunakan dua harga. Misalnya susu Rp 20.000 ditulis juga susu Rp 20.

Begitulah kira-kira, jadi Redenominasi ternyata bukan sebuah momok yang menakutkan.